JIWA YANG RINDU PADA KESEJATIAN

on Selasa, 08 Juni 2010

Pada subuh yang masih buta ku temukan sosok manusia yang digantung pada sehelai awan yang membeku. Tak ada siapa-siapa disitu, hanya warna abu-abu langit yang diselimuti oleh awan. Sosok itu masih malu untuk menyambut sapaan fajar yang begitu dingin. Dia hanya mempersembahkan senyum sepi, walau mungkin senyum itu bukan gambaran yang sesungguhnya tentang keadaan dia. Sebab pada rona muka yang pucat mengalir darah hitam pekat dengan perlahan-lahan bola matanya melototi sinar yang mulai membuka keperawanan waktu dini. Sepertinya dia takut pada cahaya atau tak ingin orang-orang melihat keadaannya. Mungkin juga dia tak ingin dikenal oleh banyak orang. Tapi kenapa pada subuh yang membeku dia mau menemaniku untuk saling cerita yang di dalamnya tak berkata apa-apa. Kami bercerita melalui bathin dengan perantara tatapan yang dalam. Aku bisa merasakan ungkapan-ungkapan kepiluan dia. Ada semacam sabda yang terdengar, sederhananya seperti pesan yang berasal dari alam lain “ wahai manusia, kemana kalian rapikan janji-janjimu dulu. Janji yang pernah kalian ikrarkan pada maha Raja. Ikrar yang kau janjikan tak akan dilanggar. Kenapa disubuh yang khusyuk kalian masih sibuk merangkai mimpi. Mimpi taman dunia yang ditanam pohon-pohon kering. Kalian selalu mengucapkan kata-kata kebesaran, tapi kenapa perilaku kalian tak menggambarkan itu. Mengapa kalian melupakan semuanya…………..manusia.” Mendengar kata-kata itu seluruh tubuhku terasa dingin dan bulu-bulu merinding. Ada kekuatan yang sangat dahsyat dari pesan tadi. Sebelum semuanya terpikirkan tiba-tiba sosok itu menghilang. Entah kemana, hanya kemungkinan yang diperkirakan, tapi kepastian dia telah kembali ke asalnya.

Sebelum berjumpa dengan sosok aneh. Pada malam hari, tepatnya pukul 23.30 aku masih senang memainkan jari-jari di atas lekuk-lekuk tubuh wanita yang sangat cantik. Bodinya ibarat lekukan gitar, halus dan putihnya membutakan mata. Sehingga yang terjadi tak perlu lagi disaksikan oleh mata. Kenikmatan malam itu sulit dirangkaikan dengan kata-kata, sebab aku ragu pada kenihilan kata yang tak mampu mengungkapkan semuanya. Wanita itu membuka dirinya seperti kertas kosong yang siap ditulis dengan cerita apa saja. Tubuhnya akan mampu menampung segudang resah dan gelisah yang ada. Bahkan dia telah melenyapkan dinginnya malam dengan sentuhan mesra. Bibirnya mengeluarkan kata-kata yang berisi mantra. Mantra yang mampu memberiakan ketangguhan dalam permainan kami. Tangannya begerak seperti mengiringi musik dance. Dengan segala daya kami lakonkan peran Adam dan Hawa ketika Tuhan meng-akadkan hubungannya.

Kini wanita itu mendisis, nafasnya ngos-ngosan. Ada daya yang terkuras. Ada keangkuhan yang terbantahkan. Ke-Akuannya dibantai oleh perbuatan yang terlalu buru-buru. Disaat kemampuan tak bisa dipertahankan, kau hanya bisa ungkapkan bahasa seperlunya.

“Aduh…..aduh…..dayaku ingin menghampiri kepunahan”, lirihmu.

“Kenapa ?, mana semangat yang menggelora dulu”, aku bertanya pada kekuatan yang pernah dia agungkan dulu. Mungkin wajar kalau disebut keangkuhan yang selalu dibicarakannya.

“Semangatku telah dimakan usia. Usia yang mendekati hayat perjanjian”.

“Jangan kau mengeluh pada kelitihan tulang-tulang tua kita. Sebab keluhan tak akan menyelamatkan kita pada maut. Menikmati lebih indah dari keluh kesah yang justru melemahkan kita dalam meramu pertalian cinta ini”.

“Tapi ku ingin jujur pada ketakberdayaan ini. Aku ingin dunia mendengarnya. Mungkin dengan kejujuran beban ini semakin ringan. Selama ini ku pikul kebohongan-kebohongan, sehingga langkah-langkah terasa berat”.

“Ha….ha…ha….! Kenapa kau menambah beban dengan kata-kata penyesalan. Kata-kata tak akan bisa mengurangi itu. Yang perlu itu sikap kita terhadap perbuatan selama ini”. Aku berusaha menenangkannya dari ratapan penyesalan yang akan melumpuhkan perjalanan kedepan. Ratapan itu hanya bisa menidurkan seseorang.

“Kau tak mudah memahami tantang rasa yang ku emban”, jawabmu.

“Mungkin iya, tapi setidaknya kita bisa meresapi keadaan seseorang dari kata-kata”.

“Sudahlah. Bagaimana pun kau tetap tak mengerti, yang bisa kau pahami hanya puing-puing dari cerita. Sementara bibit-bibit deritanya masih diam dalam jiwaku. Aku selalu merapikan tiap saat, bagiku dengan cara ini semakin memberikan makna hidup. Tak perlu kau mengerti, sebab yang aku ingin darimu sekedar menyandarkan lelah setelah menempuh liku-likunya perjalanan yang dipenuhi kerikil tajam.”

“……….”, Aku hanya diam mendengar kata-katamu. Tapi kamu segera beranjak dari kebersamaan pada malam itu. Kau menjauh dari keserakahan diriku yang ingin memilikimu semalam penuh.

*****

Tapak sejarah telah ku ukir dengan keringat darah. Air mata pun sering berbanjiran menemani kejamnya dunia ini. Setelah bertemu dengan sosok manusia pada subuh yang buta, aku risau terhadap diri yang masih lemah mempertanggung jawabkan segala sikap dan perbuatan. Bahkan wanita yang menemaniku dulu, setelah menyandarkan lelahnya kini menghilang selamanya. Malam-malam selanjutnya aku pernah bertemu dengan Muhammad lewat mimpi. Aku melihat Muhammad menangis terseduh karena melihat seorang anak pengemis yang menangis di bawah pohon. Anak itu kelaparan. Dia sangat kurus dengan baju yang compang-camping. Mungkin sudah lama tak disentuh oleh air.

Muhammad berkata pada anak itu,”Sabarlah anakku. Kepunyaanmu telah dilahap oleh orang-orang yang serakah. Mereka lebih senang memewahkan hidup dan menelantarkan kalian”. Aku ikut meneteskan air mata, tapi bukan karena kasihan pada anak itu melainkan karena melanggar ikrarku dulu. Sesudah mengutarakn kata-kata itu Muhammad memeluknya dan merangkul dengan damai, kemudian dia memberikan kurma. Denagn keraguan aku menghampiri Muhammad yang masih sedih, aku ingin bercerita sesuatu padanya.

“Maaf baginda….bisakah aku menemanimu disini”, tanyaku dengan segala kerendahan hati, sebab takut mengusik kesedihannya.

“Oh…iya. Silakan saja”.

“Baginda, kenapa begitu sedih?”

“Aku sedih karena melihat umat manusia yang tak lagi saling peduli. Risalah yang pernahku titip, entah kemana mereka simpan. Mereka hanya memilihara sabda-sabdaku dengan keindahan kata, tapi bukan dengan keteladanan amal”. Disaat asyik ngobrol dengan Muhammad, aku tersendat kaget tiba-tiba muncullah sosok Karl Marx yang dianggap sebagian orang sebagai nabi kiri. Marx datang dengan muka murung seperti sedang dilanda petaka yang besar. Janggutnya bagai hutan rimba sudah memutih, penampilannya begitu sederhana. Tapi sorotan matanya sangat tajam. Mungkin dia datang dengan karung derita juga, ingin membagikan denganku. Tapi tidak mungkin Marx selemah itu, orang-orang mengenalnya sebagai pahlawan.

“Aku benci agama. Agama hanya meninabobokan kesadaran masyarakat”, letuapn kata-katanya seketika.

“Wahai kawan, mengapa engkau begitu emosi?”, tanggapku.

“Aku kecewa dengan sikap mereka yang menggunakan agama sebagai slogan dalam membantaian masyarakat. Agama itu candu”.

Aku hanya diam dengan penuh perhatian pada komentarnya. Marx juga menceritakan pergolakan nuraninya saat menulis kitab ‘Das Capital’, disisi yang lain keluarganya kesakitan tapi orang-orang beragama tak peduli.

*****

Setelah malam-malam ku lewati dengan berjumpa para pahlawan, kini aku membuaka cakrawala pagi dengan senyum. Sebenarnya ingin melukis wajah-wajah mereka pada kebiruan langit agar perjuangannya selalu dikenang. Pada pagi itu aku menyaksikan seorang anak yang lagi giat memungut sampah dekat trotoar. Tepatnya seorang pemulung yang memungut sisa bungkusan makanan para orang kaya dan pejabat di kota ini. Dia jadikan umbul-umbul dan baliho kampenye politik sebagai tempat berteduhnya. Baginya berteduh di bawah bayangan baliho itu sudah cukup, walau nasib mereka tak pernah perhatikan. Aku sangat sedih melihat pemulung itu, disaat yang bersamaan teringat sosok di subuh buta, Muhammad, dan Karl Marx yang pernah menemaniku merangkai malam dengan petuah yang sejati. Aku rindu sosok mereka yang sangat ideal. Muhammad ……..Marx kapan lagi kalian datang menemaniku. Kami hanya bisa mengukir dosa dengan mewakilkan kata-katamu untuk mengelabui masyarakat. Kerinduanku pada malam-malam kebersamaan sangat dalam. Sekarang aku menghampiri malam setelah menyaksikan pemulung yang membuat prasasti derita dekat baliho politik. Semoga malam nanti bertemu dengan Muhammad dan Marx.****

0 komentar:

Posting Komentar